BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pancasila adalah lima
nilai dasar luhur yang ada dan berkembang bersama dengan bangsa Indonesia sejak
dahulu. Sejarah merupakan deretan peristiwa yang saling berhubungan.
Peristiwa-peristiwa masa lampau yang berhubungan dengan kejadian masa sekarang
dan semuanya bermuara pada masa yang akan datang. Hal ini berarti bahwa semua
aktivitas manusia pada masa lampau berkaitan dengan kehidupan masa sekarang
untuk mewujudkan masa depan yang berbeda dengan masa yang sebelumnya.
Dasar Negara merupakan alas atau fundamen yang menjadi
pijakan dan mampu memberikan kekuatan kepada berdirinya sebuah Negara. Negara
Indonesia dibangun juga berdasarkan pada suatu landasan atau pijakan yaitu
pancasila. Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar Negara, merupakan sumber kaidah
hukum yang mengatur Negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh
unsur-unsurnya yakni pemerintah, wilayah, dan rakyat. Pancasila dalam
kedudukannya merupakan dasar pijakan penyelenggaraan Negara dan seluruh
kehidupan Negara Replubik Indonesia.
Pancasila sebagai dasar Negara mempunyai arti yaitu
mengatur penyelenggaraan pemerintahan. Konsekuensinya adalah Pancasila
merupakan sumber dari segala sumber hukum. Hal ini menempatkan pancasila
sebagai dasar Negara yang berarti melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam
semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah
seharusnya semua peraturan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia
bersumber pada Pancasila.
B.
Rumusan Masalah
Dalam makalah ini
penulis mengidentifikasiakan rumusan masalah sebagai berikut:
a.
Pancasila
Pada Era Pra Kemerdekaan
b.
Pancasila
Pada Era Kemerdekaan
c.
Pancasila
Pada Era Orde Lama
d.
Pancasila
Pada Era Orde Baru
e.
Pancasila
Pada Era Reformasi
C.
Tujuan Makalah
a. Menjelaskan Pancasila Era Pra kemerdekaan
b. Menjelaskan Pancasila Era Kemerdekaan
c. Menjelaskan Pancasila Era Orde Lama
d. Menjelaskan Pancasila Era Orde Baru
e. Menjelaskan Pancasila Era Reformasi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pancasila Era Pra Kemerdekaan
Menurut Sunoto (1984) melalui kajian filsafat
Pancasila, menyatakan bahwa unsur-unsur Pancasila berasal dari bangsa Indonesia
sendiri, walaupun secara formal Pancasila baru menjadi dasar Negara Republik
Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, namun jauh sebelum tanggal tersebut
bangsa Indonesia telah memiliki unsur-unsur Pancasila dan bahkan melaksanakan
di dalam kehidupan merdeka. Sejarah bangsa Indonesia memberikan bukti yang
dapat kita cari dalam berbagai adat istiadat, tulisan, bahasa, kesenian,
kepercayaan, agama dan kebudayaan pada umumnya. (Sunoto, 1984: 1). Dengan rinci
Sunoto menunjukkan fakta historis, diantaranya adalah:
a. Ketuhanan Yang Maha Esa : bahwa di Indonesia tidak
pernah ada putus-putusnya orang percaya kepada Tuhan.
b. Kemanusiaan yang adil dan beradab : bahwa bangsa Indonesia
terkenal ramah tamah, sopan santun, lemah lembut dengan sesama manusia.
c. Persatuan Indonesia : bahwa bangsa Indonesia dengan
ciri-cirinya guyub, rukun, bersatu, dan kekeluargaan.
d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan : bahwa unsur-unsur demokrasi sudah ada dalam
masyarakat kita.
e. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia : bahwa
bangsa Indonesia dalam menunaikan tugas hidupnya terkenal lebih bersifat social
dan berlaku adil terhadap sesama.
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia,
ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai dasar negara, maka nilai-nilai
kehidupan berbangsa, bernegara dan berpemerintahan sejak saat itu haruslah
berdasarkan pada Pancasila, namun pada kenyataannya, nilai-nilai yang ada dalam
Pancasila telah dipraktekkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia dan kita
praktekkan hingga sekarang. Hal ini berarti bahwa semua nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila telah ada dalam kehidupan rakyat Indonesia sejak zaman
nenek moyang.
Teori nilai budaya
Bangsa Indonesia
mengakui bahwa Pancasila telah ada dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari
sejak bangsa Indonesia itu ada. Keberadaan Pancasila masih belum terumuskan
secara sistematis seperti sekarang yang dapat kita lihat. Pancasila pada masa
tersebut identik dengan nilai-nilai luhur yang dianut bangsa Indonesia sebagai
nilai budaya. Nilai budaya merupakan pedoman hidup bersama yang tidak tertulis
dan merupakan kesepakatan bersama yang diikuti secara suka rela.
Nilai budaya
merupakan suatu upaya untuk menjawab persoalan-persoalan yang cukup vital dalam
kehidupan manusia. Nilai budaya merupakan cara manusia menjawab baik secara
pribadi atau masyarakat terhadap masalah-masalah yang mendasar di dalam
hidupnya. Nilai tersebut merupakan suatu sistem yang di dalamnya terdiri dari
konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga
masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam
hidup. (Koentjaraningrat, 1974: 32). Nilai budaya akan mempengaruhi pandangan
hidup, sistem normatif moral dan seterusnya hingga akhirnya pengaruh itu sampai
pada hasil tindakan manusia.
Nilai budaya dengan
masing-masing orientasinya akan mempengaruhi pandangan hidup. Pandangan hidup
adalah sesuatu yang dipakai oleh masyarakat dalam menentukan nilai kehidupan.
Pandangan hidup sebenarnya meliputi bagaimana masyarakat memandang aspek
hubungan dalam hidup dan kehidupan yakni hubungan manusia dengan yang
transenden, hubungan dengan diri sendiri, dan hubungan manusia dengan sesama
makhluk lain. Dalam bahasa Notonagoro dikenal istilah-istilah kedudukan kodrat,
susunan kodrat, sifat kodrat manusia. Dari sini dapat disimpulkan bahwa manusia
mempunyai tiga kecenderungan mendasar yaitu theo-genetis, bio-genetis, dan sosio-genetis.
A.T. Soegito (1999:
32) dengan mengutip beberapa sumber bacaan menjelaskan bahwa mengenal diri
sendiri berarti mengetahui apa yang dapat dilakukannya, dan tak seorang pun
akan tahu apa yang dapat dilakukannya sebelum dia mencoba, satu-satunya petunjuk
yang dapat ditemukan untuk mengetahui sesuatu yang dapat dilakukan manusia
adalah dengan mengetahui kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh manusia
yang terdahulu. Oleh karena itu, nilai sejarah terletak pada kenyataan bahwa ia
mengajarkan apa yang telah dilakukan oleh manusia dan dengan demikian apa
sesungguhnya manusia. Tanpa mengetahui sejarah, seseorang tidak dapat
memperoleh pengertian kualitatif dari gejala-gejala sosial yang ada. Secara
rinci Sartono Kartodirdjo menjelaskan bahwa fungsi pengajaran sejarah nasional
Indonesia meliputi :
1. Membangkitkan
perhatian serta minat kepada sejarah tanah air
2. Mendapatkan
inspirasi dari cerita sejarah
3. Memupuk alam pikiran
ke arah kesadaran sejarah
4. Memberi pola pikiran
ke arah kesadaran sejarah
5. Mengembangkan
pikiran penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam memahami
sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang terkait dengan Pancasila, Dardji
Darmodihardjo mengajukan kesimpulan bahwa nilai-nilai Pancasila telah menjiwai
tonggak-tonggak sejarah nasional Indonesia yaitu :
1. Cita- cita luhur bangsa Indonesia yang diperjuangkan
untuk menjadi kenyataan.
2. Perjuangan bangsa Indonesia tersebut berlangsung
berabad-abad, bertahap dan menggunakan cara yang bermacam-macam.
3. Proklamasi kemerdekaan
17 Agustus 1945 merupakan titik kulminasi sejarah perjuangan bangsa Indonesia
yang dijiwai oleh pancasila.
4. Pembukaan UUD 1945
merupakan uraian terperinci dari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
5. Empat pokok pikiran
dalam Pembukaan UUD 1945 paham negara persatuan, negara bertujuan mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, negara berdasarkan kedaulatan
rakyat, negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab.
6. Pasal-pasal UUD 1945
merupakan uraian terperinci dari pokok-pokok yang terkandung di dalam Pembukaan
UUD 1945 yang berjiwakan Pancasila
7. Maka penafsiran sila-sila pancasila harus
bersumber, berpedoman dan berdasar kepada Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945.
(Dardji Darmodihardjo, 1978: 40).
Secara
historis rumusan- rumusan Pancasila dapat dibedakan dalam tiga kelompok (Bakry,
1998: 20) :
a) Rumusan Pancasila yang terdapat dalam sidang-sidang
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang merupakan
tahap pengusulan sebagai dasar negara Republik Indonesia, termasuk Piagam
Djakarta.
b) Rumusan Pancasila yang ditetapkan oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia sebagai dasar filsafat Negara Indonesia yang
sangat erat hubungannya dengan Proklamasi Kemerdekaan.
c) Beberapa rumusan dalam perubahan ketatanegaraan
Indonesia selama belum berlaku kembali rumusan Pancasila yang terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945.
Masa Pengusulan
Dalam sidang Teiku
Gikoi (Parlemen Jepang) pada tanggal 7 September 1944, perdana menteri Jepang
Jendral Kuniaki Koisi, atas nama pemerintah Jepang mengeluarkan janji
kemerdekaan Indonesia yang akan diberikan pada tanggal 24 Agustus 1945, sebagai
janji politik. Sebagai realisasi janji ini, pada tanggal 1 Maret 1945 Jepang
mengumumkan akan dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai). Badan ini baru terbentuk pada tanggal
29 April 1945.
Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dilantik pada tanggal 28 Mei 1945
oleh Gunseikan (Kepala Pemerintahan bala tentara Jepang di Jawa), dengan
susunan sebagai berikut Ketua Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat, ketua muda
Ichibangase Yosio (anggota luar biasa, bangsa Jepang), Ketua Muda R. Panji
Soeroso (merangkap Tata Usaha), sedangkan anggotanya berjumlah 60 orang tidak
termasuk ketua dan ketua muda.
Adanya badan ini
memungkinkan bangsa Indonesia dapat mempersiapkan kemerdekaannya secara legal,
untuk merumuskan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi sebagai negara yang
merdeka. Oleh karena itu, peristiwa ini dijadikan sebagai suatu tonggak sejarah
perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-citanya.
Badan penyelidik ini
mengadakan sidang hanya dua kali. Sidang pertama pada tanggal 29 Mei sampai
dengan 1 Juni 1945, sedangkan sidang kedua pada tanggal 10 Juli sampai dengan
17 Juli 1945.
Masa Sidang Pertama BPUPKI
Pada sidang pertama
pada tanggal 29 Mei 1945 M. Yamin mengemukakan usul yang disampaikan dalam
pidatonya yang berjudul asas dan dasar negara Kebangsaan Indonesia di hadapan sidang
lengkap BPUPKI. Beliau mengusulkan dasar negara bagi Indonesia Merdeka yang
akan dibentuk meliputi Peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri Ketuhanan, peri
kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.
Selain usulan dalam
bentuk pidato, usulan M. Yamin juga disampaikan dalam bentuk tertulis tentang
lima asas dasar negara dalam rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia yang berbeda rumusan kata-kata dan sistematikanya dengan isi
pidatonya. Rumusannya yang tertulis adalah sebagai berikut :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa,
2. Kebangsaan Persatuan Indonesia,
3. Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan,
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tangaal 31 Mei 1945
Soepomo mengusulkan perihal yang pada dasarnya bukan dasar negara merdeka, akan
tetapi tentang paham negaranya yaitu negara yang berpaham integralistik.
Soepomo mengusulkan tentang dasar pemikiran negara nasional bersatu yang akan
didirikan harus berdasarkan atas pemikiran integralistik tersebut yang sesuai
dengan struktur sosial Indonesia sebagai ciptaan budaya bangsa Indonesia yaitu:
struktur kerohanian dengan cita-cita untuk persatuan hidup, persatuan kawulo
gusti, persatuan dunia luar dan dunia batin, antara mikrokosmos dan
makrokosmos, antara rakyat dan pemimpin-pemimpinnya.
Syarat mutlak bagi
adanya negara menurut Soepomo adalah adanya daerah, rakyat, dan pemerintahan.
Mengenai dasar dari negara Indonesia yang akan didirikan, ada tiga persoalan
yaitu:
1. Persatuan negara, negara serikat, persekutuan
negara,
2. Hubungan antara negara dan agama,
3. Republik atau monarchie.
Pada hari berikutnya,
tanggal 1 juni 1945 Ir. Soekarno juga mengusulkan lima dasar bagi negara
Indonesia yang disampaikan melalui pidatonya mengenai Dasar Indonesia merdeka.
Lima dasar itu atas petunjuk seseorang ahli bahasa yaitu Mr. M. Yamin. Lima
dasar yang diajukan Bung Karno ialah Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme
atau perikemanusiaa, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial, Ketuhanan
yang berkebudayaan. Lima rumusan tersebut menurutnya dapat diringkas menjadi
tiga rumusan yang diberi nama Tri-Sila yaitu dasar pertama, kebangsaan dan
perikemanusiaan (nasionalisme dan internasionalisme) diringkas menjadi satu
diberi nama sosio-nasionalisme. Dasar kedua, demokrasi dan kesejahteraan
diringkas menjadi menjadi satu dan biberi nama sosio-demokrasi. Sedangkan dasar
yang ketiga, ketuhanan yang berkebudayaan yang menghormati satu sama lain
disingkat menjadi ketuhanan.
Setelah selesai masa
sidang pertama, dengan usulan dasar negara baik dari M. Yamin dan Soekarno, dan
paham negara integralistik dari Soepomo maka untuk menampung
perumusan-perumusan yang bersifat perorangan, dibentuklah panitia kecil
penyelidik usul-usul yang terddiri atas Sembilan orang yang diketuai oleh
Soekarno, yang kemudian disebut dengan panitia Sembilan.
Pada tanggal 22 Juni
1945, Panitia Sembilan berhasil merumuskan Rancangan pembukaan Hukum Dasar,
yang oleh Mr. M. Yamin dinamakan Jakarta Charter atau Piagam Jakarta. Di dalam
rancangan pembukaan alinea keempat terdapat rumusan Pancasila yang tata
urutannya tersusun secara sistematis:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam
bagi pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Selain itu, dalam
piagam Jakarta pada alenia ketiga juga memuat rumusan teks Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia yang pertama berbunyi “Atas berkat rahmat Allah Yang
Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan
kemerdekaannya”. Kalimat ini merupakan cetusan hati nurani bangsa Indonesia
yang diungkapkan sebelum Proklamasi kemerdekaan, sehingga dapat disebut sebagai
declaration of Indonesian Independence.
Masa Sidang Kedua BPUPKI
Masa sidang kedua
BPUPKI yaitu pada tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945, merupakan masa
sidang penentuan perumusan dasar negara yang akan merdeka sebagai hasil
kesepakatan bersama. Anggota BPUPKI dalam masa sidang kedua ini ditambah enam
orang anggota baru. Sidang lengkap BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945 menerima
hasil panitia kecil atau panitia Sembilan yang disebut dengan piagam Jakarta.
Disamping menerima hasil rumusan Panitia Sembilan dibentuk juga panitia-panitia
Hukum Dasar yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok panitia perancang Hukum
Dasar yaitu:
a. Panitia Perancang Hukum Dasar diketuai oleh Ir.
Soekarno dengan anggota yang berjumlah 19 orang,
b. Panitia Pembela Tanah Air dengan ketua Abikusno
Tjokrosujoso beranggotakan 23 orang,
c. Panitia Ekonomi dan Keuangan dengan ketua Moh. Hatta
bersama 23 orang anggota.
Panitia perancang Hukum Dasar kemudian membentuk lagi
panitia kecil. Perancang Hukum Dasar yang dipimpin oleh Soepomo.
Panitia-panitia kecil itu dalam rapatnya tanggal 11 dan 13 Juli 1945 telah
menyelesaikan tugasnya menyusun Rancangan Hukum Dasar. Selanjutnya pada tanggal
14 Juli 1945 sidang BPUPKI mengesahkan naskah rumusan panitia Sembilan yang
dinamakan Piagam Jakarta sebagai Rancangan Pembukaan Hukum Dasar, dan pada
tanggal 16 Juli 1945 menerima seluruh Rancangan Hukum Dasar yang sudah selesai
dirumuskan dan di dalamnya juga memuat Piagam Jakarta sebagai pembukaan.
Hari terakhir sidang BPUPKI tanggal 17 Juli 1945,
hanya merupakan sidang penutupan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia secara resmi. Dengan berakhirnya sidang ini maka
selesailah tugas badan tersebut, yang hasilnya akan dijadikan dasar bagi negara
Indonesia yang akan dibentuk sesuai dengan janji Jepang. Sampai akhir sidang
BPUPKI ini rumusan Pancasila dalam sejarah perumusannya ada empat macam:
a. Rumusan pertama Pancasila adalah usul dari Muh. Yamin
pada tanggal 29 Mei 1945, yaitu usul pribadi dalam bentuk pidato,
b. Rumusan kedua Pancasila adalah usul Muh. Yamin tanggal
29 Mei 1945, yakni usul pribadi dalam bentuk tertulis,
c. Rumusan ketiga Pancasila usul bung Karno tanggal 1
Juni 1945, usul pribadi dengan nama Pancasila,
d. Rumusan keempat Pancasila dalam piagam Jakarta tanggal
22 Juni 1945, hasil kesepakatan bersama pertama kali.
Meskipun Pancasila secara formal belum menjadi dasar
negara Indonesia, namun unsur-unsur sila-sila Pancasila yang dimiliki bangsa
Indonesia telah menjadi dorongan perjuangan bangsa Indonesia pada masa silam.
Pada saat proklamasi, semua kekuatan dari berbagai lapisan masyarakat bersatu
dan siap mempertahankan serta mengisi kemerdekaan yang telah
diproklamasikan. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 1945 adalah revolusi Pancasila.
Sehari setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia,
tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, diadakan sidang pleno PPKI untuk membahas
Naskah Rancangan Hukum Dasar yang akan ditetapkan sebagai Undang-Undang Dasar
(1945). Tugas PPKI semula hanya memeriksa hasi sidang BPUPKI, kemudian
anggotanya disempurnakan. Penambahan keanggotaan ini menyempurnakan kedudukan
dan fungsi yang sangat penting sebagai wakil bangsa Indonesia dalam membentuk negara
Republik Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dalam sidang
pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945 berhasil mengesahkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia dengan menetapkan (Kaelan, 1993: 43-45) :
a. Piagam Jakarta yang telah diterima sebagai rancangan
Mukaddimah Hukum Dasar oleh BPUPKI pada tanggal 14 Juli 1945 dengan beberapa
perubahan, disahkan sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia.
b. Rancangan Hukum Dasar yang telah diterima oleh BPUPKI
pada tanggal 16 Juli 1945 setelah mengalami berbagai perubahan, disahkan
sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
c. Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama,
yaitu Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden.
d. Menetapkan berdirinya Komite Nasional sebagai Badan
Musyawarah darurat.
Dengan disahkan dan ditetapkan Piagam Jakarta sebagai
Pembukaan UUD 1945, maka lima dasar yang diberi nama Pancasila tetap tercantum
di dalamnya. Hanya saja sila Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at
Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, atas
prakarsa Drs. Moh. Hatta. Rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai
rumusan kelima dalam sejarah perumusan Pancasila, dan merupakan rumusan pertama
yang diakui sebagai dasar filsafat negara secara formal.
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merupakan
suatu asas kerohanian yang meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum,
sehingga merupakan suatu sumber nilai, norma serta kaidah baik moral maupun
hukum negara, dan menguasai hukum dasar baik yang tertulis atau UUD, maupun
yang tidak tertulis atau konvensi. Oleh karena itu, kedudukan Pancasila sebagai
dasar negara ini memiliki kekuatan yang mengikat secara hukum. Seluruh bangsa
Indonesia tak terkecuali dengan demikian wajib mengamalkan Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari.
Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum
Indonesia, ia tercantum dalam ketentuan tertinggi yaitu Pembukaan UUD 1945 yang
diwujudkan lebih lanjut di dalam pokok pikiran, yang meliputi suasana kebatinan
dari UUD 1945, yang pada akhirnya dikonkrietisasikan dalam pasal-pasal UUD 1945
maupun dalam hukum positif lainnya. Konsekuensi kedudukan Pancasila sebagai
dasar negara ini lebih lanjut dapat dirinci sebagai berikut: Pertama;
Pancasila sebagai dasar negara merupakan sumber dari segala sumber hukum atau
sumber tertib hukum Indonesia. Kedua; Pancasila sebagai dasar negara
meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945. Ketiga; Pancasila sebagai
dasar negara mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar negara Indonesia. Keempat;
Pancasila sebagai dasar negara mengandung norma yang mengharuskan UUD
mengandung isi yang mewajibkan pemerintah maupun para penyelenggara negara
untuk memelihara budi pekerti yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral
rakyat yang luhur.
B. Pancasila Era Kemerdekaan
Dalam
perjalanan kehidupan bangsa Indonesia pasca kemerdekaan, Pancasila mengalami
banyak perkembangan. Sesaat setelah kemerdekaan Indonesia pada 1945, Pancasila
melewati masa-masa percobaan demokrasi. Pada waktu itu, Indonesia masuk ke
dalam era percobaan demokrasi multi-partai dengan sistem kabinet parlementer.
Partai-partai politik pada masa itu tumbuh sangat subur, dan proses politik
yang ada cenderung selalu berhasil dalam mengusung kelima sila sebagai dasar
negara (Somantri, 2006). Pancasila pada masa ini mengalami masa kejayaannya.
Selanjutnya, pada akhir tahun 1959, Pancasila melewati masa kelamnya dimana
Presiden Soekarno menerapkan sistem demokrasi terpimpin. Pada masa itu,
presiden dalam rangka tetap memegang kendali politik terhadap berbagai kekuatan
mencoba untuk memerankan politik integrasi paternalistik (Somantri, 2006). Pada
akhirnya, sistem ini seakan mengkhianati nilai-nilai yang ada dalam Pancasila
itu sendiri, salah satunya adalah sila permusyawaratan. Kemudian, pada 1965
terjadi sebuah peristiwa bersejarah di Indonesia dimana partai komunis berusaha
melakukan pemberontakan. Pada 11 Maret 1965, Presiden Soekarno memberikan
wewenang kepada Jenderal Suharto atas Indonesia. Ini merupakan era awal orde
baru dimana kemudian Pancasila mengalami mistifikasi. Pancasila pada masa itu
menjadi kaku dan mutlak pemaknaannya. Pancasila pada masa pemerintahan presiden
Soeharto kemudia menjadi core-values (Somantri, 2006), yang pada
akhirnya kembali menodai nilai-nilai dasar yang sesungguhnya terkandung dalam
Pancasila itu sendiri. Pada 1998, pemerintahan presiden Suharto berakhir dan
Pancasila kemudian masuk ke dalam era baru yaitu era demokrasi, hingga hari
ini.
C.
Pancasila Era Orde Lama
Kedudukan
pancasila sebagai idiologi Negara dan falsafah bangsa yang pernah dikeramatkan
dengan sebutan azimat revolusi bangsa, pudar untuk pertama kalinya pada akhir
dua dasa warsa setelah proklamasi kemerdekaan. Meredupnya sinar api pancasila
sebagai tuntunan hidup berbangsa dan bernegara bagi jutaan orang diawali oleh
kahendak seorang kepala pemerintahan yang terlalu gandrung pada persatuan dan
kesatuan. Kegandrungan tersebut diwujudkan dalam bentuk membangun kekuasaan
yang terpusat, agar dapat menjadi pemimpin bangsa yang dapat menyelesaikan
sebuah revolusi perjuangan melawan penjajah (nekolim, neokolonialisme) serta
ikut menata dunia agar bebas dari penghisapan bangsa atas bangsa dan
penghisapan manusia dengan manusia.
Orde lama berlangsung dari tahun 1959-1966. Pada masa
itu berlaku demokrasi terpimpin. Setelah menetapkan berlakunya kembali UUD
1945, Presiden Soekarno meletakkan dasar kepemimpinannya. Yang dinamakan
demokrasi terimpin yaitu demokrasi khas Indonesia yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Demokrasi terpimpin dalam
prakteknya tidak sesuai dengan makna yang terkandung didalamnya dan bahkan
terkenal menyimpang. Dimana demokrasi dipimpin oleh kepentingan-kepentingan
tertetu.
Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan politik dan pemerintah sering
terjadi penyimpangan yang dilakukan Presiden dan juga MPRS yang bertentangan
dengan pancasila dan UUD 1945. Artinya pelaksanaan UUD1945 pada masa itu belum
dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan
pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang presiden dan lemahnya control yang
seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijakan-kebijakan.
Selain itu, muncul pertentangan
politik dan konflik lainnya yang berkepanjangan sehingga situasi politik,
keamanaan dan kehidupan ekonomi makin memburuk puncak dari situasi tersebut
adalah munculnya pemberontakan G30S/PKI yang sangat membahayakan keselamatan
bangsa dan Negara.
Mengingat keadaan makin membahayakan Ir.
Soekarno selaku presiden RI memberikan perintah kepada Letjen Soeharto melalui
Surat Perintah 11 Maret 1969 (Supersemar) untuk mengambil segala tindakan yang
diperlukan bagi terjaminnya keamanaan, ketertiban dan ketenangan serta
kesetabilan jalannya pemerintah. Lahirnya Supersemar tersebut dianggap sebagai
awal masa Orde Baru.
D.
Pancasila Era Orde Baru
Era
Orde Baru dalam sejarah republik ini merupakan masa pemerintahan yang terlama,
dan bisa juga dikatakan sebagai masa pemerintahan yang paling stabil. Stabil
dalam artian tidak banyak gejolak yang mengemuka, layaknya keadaan dewasa ini.
Stabilitas yang diiringi dengan maraknya pembangunan di segala bidang.
Era pembangunan, era penuh kestabilan, menimbulkan romantisme dari banyak
kalangan.
Diera
Orde Baru, yakni stabilitas dan pembangunan, serta merta tidak lepas dari
keberadaan Pancasila. Pancasila menjadi alat bagi pemerintah untuk semakin
menancapkan kekuasaan di Indonesia. Pancasila begitu diagung-agungkan;
Pancasila begitu gencar ditanamkan nilai dan hakikatnya kepada rakyat; dan
rakyat tidak memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang mengganjal.
Menurut Hendro Muhaimin bahwa Pemerintah di era Orde
Baru sendiri terkesan “menunggangi” Pancasila, karena dianggap menggunakan
dasar negara sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. Disamping hal
tersebut, penanaman nilai-nilai Pancasila di era Orde Baru juga dibarengi
dengan praktik dalam kehidupan sosial rakyat Indonesia. Kepedulian
antarwarga sangat kental, toleransi di kalangan masyarakat cukup baik, dan
budaya gotong-royong sangat dijunjung tinggi. Selain penanaman nilai-nilai
tersebut dapat dilihat dari penggunaan Pancasila sebagai asas tunggal dalam
kehidupan berorganisasi, yang menyatakan bahwa semua organisasi, apapun
bentuknya, baik itu organisasi masyarakat, komunitas, perkumpulan, dan
sebagainya haruslah mengunakan Pancasila sebagai asas utamanya.
Romantisme Pelaksanaan P4
Di
era Orde Baru, terdapat kebijakan Pemerintah terkait penanaman nilai-nilai
Pancasila, yaitu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Materi
penataran P4 bukan hanya Pancasila, terdapat juga materi lain seperti UUD 1945,
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), Wawasan Nusantara, dan materi lain yang
berkaitan dengan kebangsaan, nasionalisme dan patriotisme. Kebijakan tersebut
disosialisaikan pada seluruh komponen bangsa sampai level bawah termasuk
penataran P4 untuk siswa baru Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menengah
Atas (SMA), yang lalu dilanjutkan di perguruan tinggi hingga di wilayah kerja.
Pelaksanaannya dilakukan secara menyeluruh melalui Badan Penyelenggara
Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) dengan metode
indoktrinasi.
Visi
Orde Baru pada saat itu adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat,
bangsa, dan negara yang melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen.
Sejalan
dengan semakin dominannya kekuatan negara, nasib Pancasila dan UUD 1945 menjadi
semacam senjata bagi pemerintahan Orde Baru dalam hal mengontrol perilaku
masyarakat. Seakan-akan ukurannya hanya satu: sesuatu dianggap benar kalau hal
tersebut sesuai dengan keinginan penguasa, sebaliknya dianggap salah kalau
bertentangan dengan kehendaknya. Sikap politik masyarakat yang kritis dan
berbeda pendapat dengan negara dalam prakteknya malah dengan mudahnya
dikriminalisasi.
Penanaman nilai-nilai Pancasila pada saat itu
dilakukan tanpa sejalan dengan fakta yang terjadi di masyarakat, berdasarkan
perbuatan pemerintah. Akibatnya, bukan nilai-nilai Pancasila yang meresap ke
dalam kehidupan masyarakat, tetapi kemunafikan yang tumbuh subur dalam
masyarakat. Sebab setiap ungkapan para pemimpin mengenai nilai-nilai kehidupan
tidak disertai dengan keteladanan serta tindakan yang nyata, sehingga banyak
masyarakat pun tidak menerima adanya penataran yang tidak dibarengi dengan
perbuatan pemerintah yang benar-benar pro-rakyat.
Pancasila yang Begitu
Diagung-Agungkan
Pada era Orde Baru sebagai era “dimanis-maniskannya”
Pancasila. Secara pribadi, Soeharto sendiri seringkali menyatakan pendapatnya
mengenai keberadaan Pancasila, yang kesemuanya memberikan penilaian
setinggi-tingginya terhadap Pancasila. Ketika Soeharto memberikan pidato dalam
Peringatan Hari Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1967. Soeharto mendeklarasikan
Pancasila sebagai suatu force yang dikemas dalam berbagai frase bernada
angkuh, elegan, begitu superior. Dalam pidato tersebut, Soeharto menyatakan
Pancasila sebagai “tuntunan hidup”, menjadi “sumber tertib sosial” dan “sumber
tertib seluruh perikehidupan”, serta merupakan “sumber tertib negara” dan
“sumber tertib hukum”. Kepada pemuda Indonesia dalam Kongres Pemuda tanggal 28
Oktober 1974, Soeharto menyatakan, “Pancasila janganlah hendaknya hanya
dimiliki, akan tetapi harus dipahami dan dihayati!” Dapat dikatakan tidak ada
yang lebih kuat maknanya selain Pancasila di Indonesia, pada saat itu, dan
dalam era Orde Baru.
Demokrasi Pancasila: Wajah
Semu Era Orde Baru
Di dalam P4, melalui Ketetapan MPR (TAP MPR) No.
II/MPR/1978 (sudah dicabut), adalah 36 butir Pancasila sebagai ciri-ciri
manusia Pancasilais. Pemerintah Orde Baru mengharapkan melalui 36 butir
Pancasila, yang serta merta “wajib hukumnya” untuk dihafal, akan terbentuk
suatu tatanan rakyat Indonesia yang mempraktikkan kesemuanya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, lalu terciptalah negara Indonesia yang adil dan
makmur, di segala bidang. Akan tetapi, justru penghafalan itu yang menjadi
bumerangnya. Cita-cita yang terkembang melalui P4 hanya keluar dari mulut saja,
tanpa ada pengamalan yang berarti untuk setiap butir yang terkandung di dalamnya,
meskipun tidak terjadi secara general.
E.
Pancasila Era Reformasi
Memahami
peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks sebagai dasar negara
dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga negara
Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap
yang sama terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila
sebagai paradigma ketatanegaraan artinya pancasila menjadi kerangka berpikir
atau pola berpikir bangsa Indonesia, khususnya sebagai dasar negara ia sebagai
landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai negara hukum, setiap
perbuatan baik dari warga masyarakat maupun dari pejabat-pejabat harus
berdasarkan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam
kaitannya dalam pengembangan hukum, Pancasila harus menjadi landasannya.
Artinya hukum yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan
dengan sila-sila Pancasila. Substansi produk hukumnya tidak bertentangan dengan
sila-sila pancasila.
Pancasila
sebagai paradigma pembangunan bidang sosial politik mengandung arti bahwa
nilai-nilai Pancasila sebagai wujud cita-cita Indonesia merdeka di
implementasikan sebagai berikut :
a. Penerapan dan pelaksanaan keadilaan sosial mencakup
keadilan politik, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
b. Mementingkan kepentingan rakyat / demokrasi dalam
pengambilan keputusan.
c. Melaksanakan keadilaan sosial dan penentuan prioritas
kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan kesatuan.
d. Dalam pelaksanaan pencapaian tujuan keadilan
menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab.
e. Nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan toleransi
bersumber pada nilai ke Tuhanan Yang Maha Esa.
Pancasila sebagai paradigma nasional bidang
ekonomi mengandung pengertian bagaimana suatu falsafah itu diimplementasikan
secara riil dan sistematis dalam kehidupan nyata.
Pancasila
sebagai paradigma pembangunan nasional bidang kebudayaan mengandung pengertian
bahwa Pancasila adalah etos budaya persatuan, dimana pembangunan kebudayaan
sebagai sarana pengikat persatuan dalam masyarakat majemuk. Oleh karena itu
smeboyan Bhinneka Tunggal Ika dan pelaksanaan UUD 1945 yang menyangkut
pembangunan kebudayaan bangsa hendaknya menjadi prioritas, karena kebudayaan
nasional sangat diperlukan sebagai landasan media sosial yang memperkuat
persatuan. Dalam hal ini bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa persatuan.
Pancasila
sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Hankam, maka paradigma baru TNI
terus diaktualisasikan untuk menegaskan, bahwa TNI telah meninggalkan peran
sosial politiknya atau mengakhiri dwifungsinya dan menempatkan dirinya sebagai
bagian dari sistem nasional.
Pancasila
sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, dengan memasuki kawasan filsafat ilmu
(philosophy of science) ilmu pengetahuan yang diletakkan diatas pancasila
sebagai paradigmanya perlu difahami dasar dan arah penerapannya, yaitu pada
aspek ontologis, epistomologis, dan aksiologis. Ontologis, yaitu bahwa hakikat
ilmu pengetahuan aktivitas manusia yang tidak mengenal titik henti dalam
upayanya untuk mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Ilmu pengetahuan
harus dipandang secara utuh, dalam dimensinya sebagai proses menggambarkan
suatu aktivitas warga masyarakat ilmiah yang melalui abstraksi, spekulasi,
imajinasi, refleksi, observasi, eksperimentasi, komparasi dan eksplorasi
mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Sebagai produk, adanya hasil
yang diperoleh melalui proses, yang berwujud karya-karya ilmiah beserta
aplikasinya yang berwujud fisik ataupun non fisik. Epistimologi, yaitu bahwa
Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijadikan metode
berpikir, dalam arti dijadikan dasar dan arah didalam pengembangan ilmu
pengetahuan yang parameter kebenaran serta kemanfaatan hasil-hasil yang
dicapainya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila itu sendiri.
Aksilogis, yaitu bahwa dengan menggunakan epistemologi tersebut diatas,
pemanfaatan dan efek pengembangan ilmu pengetahuan secara negatif tidak
bertentangan dengan Pancasila dan secara positif mendukung atau mewujudkan
nilai-nilai ideal Pancasila.
Memahami
peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks sebagai dasar negara
dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga negara
Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap
yang sama terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semenjak ditetapkan sebagai dasar
negara (oleh PPKI 18 Agustus 1945), Pancasila telah mengalami perkembangan
sesuai dengan pasang naiknya sejarah bangsa Indonesia (Koento Wibisono, 2001)
memberikan tahapan perkembangan Pancasila sebagai dasar negara dalam tiga tahap
yaitu :
1. Tahap 1945 – 1968 Sebagai Tahap
Politis
Dimana
orientasi pengembangan Pancasila diarahkan kepada Nation and Character
Building. Hal ini sebagai perwujudan keinginan bangsa Indonesia untuk survival
dari berbagai tantangan yang muncul baik dalam maupun luar negeri, sehingga
atmosfir politik sebagai panglima sangat dominan. Pancasila sebagai Dasar
Negara misalnya menurut Notonagoro dan Driarkara. Kedua ilmuwan tersebut
menyatakan bahwa Pancasila mampu dijadikan pangkal sudut pandang dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan bahkan Pancasila merupakan suatu paham atau
aliran filsafat Indonesia, dan ditegaskan bahwa Pancasila merupakan rumusan
ilmiah filsafati tentang manusia dan realitas, sehingga Pancasila tidak lagi
dijadikan alternatif melainkan menjadi suatu imperatif dan suatu philosophical
concensus dengan komitmen transenden sebagai tali pengikat kesatuan dan persatuan
dalam menyongsong kehidupan masa depan bangsa yang Bhinneka Tunggal Ika. Bahkan
Notonagoro menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan staatfundamental Norm
yang tidak dapat diubah secara hukum oleh siapapun. Sebagai akibat dari
keberhasilan mengatasi berbagai tantangan baik dari dalam maupun dari luar
negeri, masa ini ditandai oleh kebijakan nasional yaitu menempatkan Pancasila
sebagai asas tunggal.
2. Tahap 1969 – 1994
Sebagai Tahap Pembangunan Ekonomi
Yaitu
upaya mengisi kemerdekaan melalui program-program ekonomi. Orientasi
pengembangan Pancasila diarahkan pada bidang ekonomi, akibatnya cenderung
menjadikan ekonomi sebagai ideologi. Pada tahap ini pembangunan ekonomi
menunjukkan keberhasilan secara spektakuler, walaupun bersamaan dengan itu muncul
gejala ketidakmerataan dalam pembagian hasil pembangunan. Kesenjangan sosial
merupakan fenomena yang dilematis dengan program penataran P4 yang selama itu
dilaksanakan oleh pemerintah. keadaan ini semakin memprihatinkan setelah
terjadinya gejala KKN dan Kronisme yang bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila. Bersamaan dengan itu perkembangan perpolitikan dunia, setelah
hancurnya negara-negara komunis, lahirnya tiga raksasa kapitalisme dunia yaitu
Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Oleh karena itu Pancasila sebagai dasar
negara tidak hanya dihantui oleh supersifnya komunisme melainkan juga harus
berhadapan dengan gelombang aneksasinya kapitalisme, disamping menhadapi
tantangan baru yaitu KKN dan kronisme.
3. Tahap 1995 – 2020
Sebagai Tahap Repositioning Pancasila
Dunia
masa kini sedang dihadapi kepada gelombang perubahan secara cepat, mendasar,
spektakuler, sebagai implikasi arus globalisasi yang melanda seluruh penjuru
dunia, khususnya di abad XXI sekarang ini, bersamaan arus reformasi yang sedang
dilakukan oleh bangsa Indonesia. Reformasi telah merombak semua segi kehidupan
secara mendasar, maka semakin terasa orgensinya untuk menjadi Pancasila sebagai
dasar negara dalam kerangka mempertahankan jatidiri bangsa dan persatuan dan
kesatuan nasional, lebih-lebih kehidupan perpolitikan nasional yang tidak
menentu di era reformasi ini. Berdasarkan hal tersebut diatas perlunya reposisi
Pancasila yaitu reposisi Pancasila sebagai dasar negara yang mengandung makna
Pancasila harus diletakkan dalam keutuhannya dengan Pembukaan UUD 1945,
dieksplorasikan pada dimensi-dimensi yang melekat padanya.
Realitasnya bahwa nilai-nilai yang
terkandung didalamnya dikonkritisasikan sebagai ceminan kondisi obyektif yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, suatu rangkaian nilai-nilai yang
bersifat “sein im sollen dan sollen im sein”.
Idealitasnya bahwa idealisme yang
terkandung didalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa makna, melainkan
diobyektifitasikan sebagai akta kerja untuk membangkitkan gairah dan optimisme
para warga masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif.
Fleksibilitasnya dalam arti bahwa Pancasila
bukanlah barang jadi yang sudah selesai dan dalam kebekuan dogmatis dan
normatif, melainkan terbuka bagi tafsi-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan
zaman yang terus menerus berkembang, dengan demikian tanpa kehilangan nilai
hakikinya Pancasila menjadi tetap aktual, relevan serta fungsional sebagai
penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara.
Di era reformasi ini, Pancasila seakan
tidak memiliki kekuatan mempengaruhi dan menuntun masyarakat. Pancasila tidak
lagi populer seperti pada masa lalu. Elit politik dan masyarakat terkesan masa
bodoh dalam melakukan implementasi nilai-nilai pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pancasila memang sedang kehilangan legitimasi, rujukan
dan elan vitalnya. Sebab utamannya karena rejim Orde Lama dan Orde Baru
menempatkan Pancasila sebagai alat kekuasaan yang otoriter.
Terlepas
dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari berdirinya bangsa ini,
yang diperlukan dalam konteks era reformasi adalah pendekatan-pendekatan yang
lebih konseptual, komprehensif, konsisten, integratif, sederhana dan relevan
dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan
negara.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pancasila adalah lima
nilai dasar luhur yang ada dan berkembang bersama dengan bangsa Indonesia sejak
dahulu. Sejarah merupakan deretan peristiwa yang saling berhubungan.
Peristiwa-peristiwa masa lampau yang berhubungan dengan kejadian masa sekarang
dan semuanya bermuara pada masa yang akan datang. Hal ini berarti bahwa semua
aktivitas manusia pada masa lampau berkaitan dengan kehidupan masa sekarang
untuk mewujudkan masa depan yang berbeda dengan masa yang sebelumnya. Sejarah perjuangan
bangsa Indonesia berlalu dengan melewati suatu proses waktu yang sangat
panjang. Dalam proses waktu yang panjang itu dapat dicatat kejadian-kejadian
penting yang merupakan tonggak sejarah perjuangan.
Dan Dasar Negara
merupakan alas atau fundamen yang menjadi pijakan dan mampu memberikan kekuatan
kepada berdirinya sebuah Negara. Negara Indonesia dibangun juga berdasarkan
pada suatu landasan atau pijakan yaitu pancasila. Pancasila, dalam fungsinya
sebagai dasar Negara, merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur Negara
Replubik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni
pemerintah, wilayah, dan rakyat. Pancasila dalam kedudukannya seperti inilah
yang merupakan dasar pijakan penyelenggaraan Negara dan seluruh kehidupan
Negara Replubik Indonesia.
Saran-Saran
Pancasila merupakan kepribadian
bangsa Indonesia yang mana setiap warga negara Indonesia harus menjunjung
tinggi dan mengamalkan sila-sila dari Pancasila tersebut dengan setulus hati
dan penuh rasa tanggung jawab. Agar pancasila tidak terbatas pada coretan tinta
belaka tanpa makna.
DAFTAR PUSTAKA
Ubaedillah A & Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Icce. UIN
Jakarta, 2003
Darmodiharjo, Darji. 1982. Pancasila dalam Beberapa
Perspektif. Jakarta: Aries Lima
Tim Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta. 2005. Pendidikan Pancasila. Jakarta: Universitas Terbuka
Winatapura, Udin. S, dkk. 2008. Buku Materi
dan Pembelajaran Pkn SD. Jakarta: Universitas Terbuka
2 komentar:
nice :) salam kenal dari palembang
id line : 085269811845 nambah teman :)
boleh minta ebook sumber materinya nggak??? kirim email ajah ya, sasmitobaguss@gmail.com
Posting Komentar