BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendarahan kala
III umum terjadi dikarenakan terpotongnya pembuluh-pembuluh darah dari dinding
rahim bekas implantasi plasenta. Jumlah darah yang umum keluar tidak lebih dari
500cc atau setara dengan 2,5 gelas belimbing. Apabila setelah lahirnya bayi
darah yang keluar elebihi 500cc maka dapat dikatagorikan mengalami pendarahan
pasca persalinan primer. Pada pasien yang mengalami pendarahan kala III atau
mengalami pengeluaran darah sebanyak lebih 500cc, tanda-tanda yang dapat
dijumpai secara langsug diantaranya perubahan pada tanda-tanda vital seperti
pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringan dingin, menggigil, hiperpnea,
sistolik <90mmHg, nadi >100x/mnt, kadar Hb <8g%. Beberapa penyebab
perdarahan pascapersalinan primer yang sering terjadi adalah atonia uteri,
restencio plasenta, dan perlukaan jalan lahir.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimanakah mendeteksi atonia uteri
dan cara penatalaksanaan ?
1.2.2
Bagaimanakah mendeteksi restensio
plasenta dan cara penatalaksanaan ?
1.2.3
Bagaimanakah mendeteksi perlukaan jalan
lahir dan cara penatalaksanaan ?
1.3 Tujuan Masalah
1.3.1
Untuk mengetahui mendeteksi atonia
uteri dan cara penatalaksanaan ?
1.3.2
Untuk mengetahui mendeteksi restensio
plasenta dan cara penatalaksanaan ?
1.3.3
Untuk mengetahui mendeteksi perlukaan
jalan lahir dan cara penatalaksanaan ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Atonia Uteri
Atonia
uteria (relaksasi otot uterus) adalah Uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik
setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir). (JNPKR, Asuhan
Persalinan Normal, Depkes Jakarta ; 2002)
2.1.1 ETIOLOGI
1. overdistention uterus seperti:
gemeli, makrosomia, polihidramnion, atau paritas tinggi.
2. Umur yang
terlalu muda atau terlalu tua
3. Multipara dengan jarak keahiran
pendek
4. Partus lama / partus terlantar
5. Malnutrisi
6. Dapat juga karena salah penanganan
dalam usaha melahirkan plasenta, sedangkan sebenarnya belum terlepas dari
uterus.
2.1.2 MANIFESTASI KLINIS
1. Uterus tidak berkontraksi dan lembek
2. Perdarahan segera setelah anak lahir
(post partum primer)
2.1.3 PENCEGAHAN ATONIA UTERI
Pemberian
oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum
lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai
terapi. Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam
persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.
Kegunaan
utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat, dan
tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti
ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah
atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin
setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bolus
atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam.
Analog sintetik oksitosin, yaitu
karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai uterotonika untuk mencegah dan
mengatasi perdarahan pospartum dini. Karbetosin merupakan obat long-acting dan
onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin
4-10 menit. Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin
bolus IV dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif
dibanding oksitosin.
2.1.4 MANAJEMEN ATONIA UTERI
1. Resusitasi
Apabila
terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan awal yaitu resusitasi
dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring tanda-tanda vital,
monitoring jumlah urin, dan monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan
darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah.
2. Masase dan kompresi bimanual
Masase
dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan menghentikan
perdarahan.
A.
Pemijatan fundus uteri segera setelah
lahirnya plasenta (max 15 detik)
a.
Jika
uterus berkontraksi
Evaluasi,
jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung, periksa apakah
perineum / vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera
b.
Jika uterus tidak berkontraksi maka :
Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari
vagina & lobang serviks
Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong
B.
Lakukan
kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.
a.
Jika
uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan
perlahan-lahan dan pantau kala empat dengan ketat.
b.
Jika
uterus tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan
kompresi bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-lahan; Berikan
ergometrin 0,2 mg LM (jangan diberikan jika hipertensi); Pasang infus
menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml RL + 20 unit oksitosin.
Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin; Ulangi KBI
Jika
uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala empat
Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera
3. Uterotonika
Oksitosin
merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis. Obat
ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan
meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah
oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis
tinggi menyababkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk
perdarahan aktif diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU perliter,
jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM).
Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan
vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.
Metilergonovin
maleat merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat menyebabkan tetani uteri
setelah 5 menit pemberian IM. Dapat diberikan secara IM 0,25 mg, dapat diulang
setiap 5 menit sampai dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan langsung
pada miometrium jika diperlukan (IMM) atau IV bolus 0,125 mg. obat ini dikenal
dapat menyebabkan vasospasme perifer dan hipertensi, dapat juga menimbulkan nausea
dan vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi.
Uterotonika
prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil prostaglandin F2alfa. Dapat diberikan
secara intramiometrikal, intraservikal, transvaginal, intravenous,
intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat
diulang setiap 15 menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal
dapat dipakai untuk mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g).
Prostaglandin ini merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat menimbulkan
efek samping prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare, sakit kepala,
hipertensi dan bronkospasme yang disebabkan kontraksi otot halus, bekerja juga
pada sistem termoregulasi sentral, sehingga kadang-kadang menyebabkan muka
kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang disebabkan peningkatan basal
temperatur, hal ini menyebabkan penurunan saturasi oksigen. Uterotonika ini
tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan kardiovaskular, pulmonal, dan
disfungsi hepatik. Efek samping serius penggunaannya jarang ditemukan dan
sebagian besar dapat hilang sendiri.
4. Uterine
lavage dan Uterine Packing
Jika
uterotonika gagal menghentikan perdarahan, pemberian air panas ke dalam cavum
uteri mungkin dapat bermanfaat untuk mengatasi atonia uteri. Pemberian 1-2
liter salin 47°C-50°C langsung ke dalam cavum uteri menggunakan pipa infus.
Tangan operator tidak boleh menghalangi vagina untuk memberi jalan salin
keluar.
Penggunaan
uterine packing saat ini tidak disukai dan masih kontroversial. Efeknya adalah hiperdistended uterus
dan sebagai tampon uterus.
Prinsipnya
adalah membuat distensi maksimum sehingga memberikan tekanan maksimum pada
dinding uterus. Segmen bawah rahim harus terisi sekuat mungkin, anestesi
dibutuhkan dalam penanganan ini dan antibiotika broad-spectrum harus diberikan.
Uterine packing dipasang selama 24-36 jam, sambil memberikan resusitasi cairan
dan transfusi darah masuk. Uterine packing diberikan jika tidak tersedia
fasilitas operasi atau kondisi pasien tidak memungkinkan dilakukan operasi.
5. Operatif
Beberapa
penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka keberhasilan
80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan disamping
uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan SC, ligasi
dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan ini
diperlukan jarum atraumatik yang besar dan benang absorbable yang sesuai.
Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa
uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular ligamentum latum
lateral vasa uterina.
Saat
melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi harus mengenai cabang
asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan 2-3 cm
miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah diatas tidak efektif dan
jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika
urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina bagian bawah, 3-4
cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus mengenai sebagian besar
cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri uterina yang
menuju ke servik, jika perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan
bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian.
a.
Ligasi
arteri Iliaka Interna
Identiffikasi
bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk melakukannya harus
dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel dengan garis ureter.
Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi
arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan
dibelakang arteri, dan dengan menggunakan benang non absobable dilakukan dua
ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna.
Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan
sebelum dan sesudah ligasi.
Risiko
ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat menyebabkan
perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus mempertimbangkan waktu
dan kondisi pasien.
b.
Teknik
B-Lynch
Teknik
B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan oleh Christopher B Lynch
1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk mengatasi perdarahan
pospartum akibat atonia uteri.
c.
Histerektomi
Histerektomi
peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika terjadi perdarahan
pospartum masif yang membutuhkan tindakan operatif. Insidensi mencapai 7-13 per
10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada persalinan abdominal
dibandingkan vaginal.
2.2
Retensio Plasenta
Keadaan dimana plasenta belum lahir selama 1 jam setelah
bayi lahir. Epidemiologi 16-17 %
dari kasus perdarahan postpartum
2.2.1
Penyebab
1. Plasenta belum terlepas dari dinding
rahim karena melekat dan tumbuh lebih dalam. Menurut tingkat perlekatannya :
a. Plasenta adhesiva : plasenta yang melekat
pada desidua endometrium lebih dalam.
b. Plasenta inkreta : vili khorialis
tumbuh lebih dalam dan menembus desidua endometrium sampai ke miometrium.
c. Plasenta akreta : vili khorialis
tumbuh menembus miometrium sampai ke serosa.
d. Plasenta perkreta : vili khorialis
tumbuh menembus serosa atau peritoneum dinding rahim.
2. Plasenta sudah terlepas dari dinding
rahim namun belum keluar karena atoni uteri atau adanya lingkaran konstriksi
pada bagian bawah rahim (akibat kesalahan penanganan kala III) yang akan menghalangi
plasenta keluar (plasenta inkarserata).
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi
perdarahan tetapi bila sebagian plasenta sudah lepas maka akan terjadi
perdarahan. Ini merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya. Plasenta
mungkin pula tidak keluar karena kandung kemih atau rektum penuh. Oleh karena
itu keduanya harus dikosongkan.
2.2.2 Penatalaksanaan
Penanganan retensio plasenta berupa pengeluaran plasenta
dilakukan apabila plasenta belum lahir dalam 1/2-1 jam setelah bayi lahir terlebih
lagi apabila disertai perdarahan.
1. Tindakan penanganan retensio
plasenta :
a. Memberikan
informasi kepada ibu tentang tindakan yang akan dilakukan
b. Mencuci tangan
secara efektif
c. Melaksanakan
pemeriksaan umum
d. Mengukur vital
sign,suhu,nadi,tensi,pernafasan
e. Melaksanakan
pemeriksaan kebidanan
(inspeksi, palpasi, periksa dalam)
f. Memakai sarung
tangan steril
g. Melakukan vulva
hygiene
h. Mengamati
adanya gejala dan tanda retensio plasenta
i.
Bila placenta tidak lahir dalam 30
menit sesudah lahir,atau terjadi perdarahan sementara placenta belum lahir,maka
berikan oxytocin 10 IU IM.
Pastikan bahwa kandung kencing kosong dan tunggu terjadi kontraksi,kemudian
coba melahirkan plasenta dengan menggunakan peregangan tali pusat terkendali
j.
Bila dengan tindakan tersebut placenta belum
lahir dan terjadi perdarahan banyak,maka placenta harus dilahirkan secara
manual
k. Berikan cairan
infus NACL atau RL secara guyur untuk mengganti cairan
2. Manual plasenta :
a. Memasang infus cairan dekstrose 5%.
b. Ibu posisi litotomi dengan narkosa
dengan segala sesuatunya dalam keadaan suci hama.
c. Teknik : tangan kiri diletakkan di
fundus uteri, tangan kanan dimasukkan dalam rongga rahim dengan menyusuri tali
pusat sebagai penuntun. Tepi plasenta dilepas – disisihkan dengan tepi
jari-jari tangan – bila sudah lepas ditarik keluar. Lakukan eksplorasi apakah
ada luka-luka atau sisa-sisa plasenta dan bersihkanlah. Manual plasenta
berbahaya karena dapat terjadi robekan jalan lahir (uterus) dan membawa infeksi
2.3 Robekan Jalan Lahir
Perdarahan dalam keadaan dimana plasenta telah lahir lengkap
dan kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal
dari perlukaan jalan lahir. Perlukaan jalan lahin terdiri dari :
2.3.1 Robekan Perinium
Perinium merupakan kumpulan berbagai jaringan yang membentuk
perinium (Cunningham,1995). Terletak antara vulva dan anus, panjangnya
kira-kira 4 cm (Prawirohardjo, 1999). Jaringan yang terutama menopang perinium
adalah diafragma pelvis dan urogenital. Diafragma pelvis terdiri dari muskulus
levator ani dan muskulus koksigis di bagian posterior serta selubung fasia dari
otot-otot ini. Muskulus levator ani membentuk sabuk otot yang lebar bermula
dari permukaan posterior ramus phubis superior, dari permukaan dalam spina
ishiaka dan dari fasia obturatorius.
Serabut otot berinsersi pada tempat-tempat berikut ini: di
sekitar vagina dan rektum, membentuk sfingter yang efisien untuk keduanya, pada
persatuan garis tengah antara vagina dan rektum, pada persatuan garis tengah di
bawah rektum dan pada tulang ekor. Diafragma urogenitalis terletak di sebelah
luar diafragma pelvis, yaitu di daerah segitiga antara tuberositas iskial dan
simpisis phubis. Diafragma urogenital terdiri dari muskulus perinialis
transversalis profunda, muskulus konstriktor uretra dan selubung fasia interna
dan eksterna (Cunningham, 1995).
Persatuan
antara mediana levatorani yang terletak antara anus dan vagina diperkuat oleh
tendon sentralis perinium, tempat bersatu bulbokavernosus, muskulus perinialis
transversalis superfisial dan sfingter ani eksterna. Jaringan ini yang
membentuk korpus perinialis dan merupakan pendukung utama perinium, sering
robek selama persalinan, kecuali dilakukan episiotomi yang memadai pada saat
yang tepat. Infeksi setempat pada luka episiotomi merupakan infeksi masa
puerperium yang paling sering ditemukan pada genetalia eksterna.
1. LukaPerinium
Luka
perinium adalah perlukaan yang terjadi akibat persalinan pada bagian perinium
dimana muka janin menghadap (Prawirohardjo S,1999).
Luka
perinium, dibagi atas 4tingkatan :
Tingkat
I : Robekan hanya pada selaput lender vagina dengan atau tanpa mengenai kulit
perinium
Tingkat
II : Robekan mengenai selaput lender vagina dan otot perinea transversalis,
tetapi tidak mengenai spingter ani
Tingkat
III : Robekan mengenai seluruh perinium dan otot spingter ani
Tingkat
IV : Robekan sampai mukosa rectum
2. Robekan Servik
Robekan serviks paling sering terjadi pada jam 3 dan 9.
bibir depan dan bibir belakang servik dijepit dengan klem fenster
kemudian serviks ditariksedidikit untuk menentukan letak robekan dan ujung
robekan. Selanjutnya robekan dijahit dengan catgut kromik dimulai dari ujung
untuk menghentikan perdarahan.
3. Rupture Uteri
Ruptur uteri merupakan peristiwa yang paling gawat dalam
bidang kebidanan karena angka kematiannya yang tinggi. Janin pada ruptur uteri
yang terjadi di luar rumah sakit sudah dapat dipastikan meninggal dalam kavum
abdomen. Ruptura uteri masih sering dijumpai di Indonesia karena persalinan
masih banyak ditolong oleh dukun. Dukun seagian besar belum mengetahui
mekanisme persalinan yang benar, sehingga kemacetan proses persalinan dilakukan
dengan dorongan pada fundus uteri dan dapat mempercepat terjadinya
rupturauteri.
Resiko infeksi sangat tinggi dan angka kematian bayi sangat
tinggi pada kasus ini. Ruptura uteri inkomplit yang menyebabkan hematoma pada
para metrium, kadang-kadang sangat sulit untuk segera dikenali sehingga
menimbulkan komplikasi serius atau bahkan kematian. Syok yang terjadi
seringkali tidak sesuai dengan jumlah darah keluar karena perdarhan heat dapat
terjadi ke dalam kavum abdomen. Keadaan-keadaan seperti ini, sangat perlu untuk
diwaspadai pada partus lama atau kasep.
Ruptur
uteri dapat dibagi menurut beberapa cara :
A. Menurut waktu terjadinya
a. Ruptur uteri Gravidarum : Waktu sedang hamil. Sering
lokasinya pada korpus
b. Ruptur uteri Durante Partum : Waktu
melahirkan anak
B.
Menurut
lokasinya:
a. Korpus uteri, ini biasanya terjadi
pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi seperti seksio sesarea klasik (
korporal ), miemoktomi
b. Segmen bawah rahim ( SBR ), ini
biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama tidak maju, SBR tambah lama
tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur uteri yang sebenarnya
c. Serviks uteri ini biasanya terjadi
pada waktu melakukan ekstraksi forsipal atau versi dan ekstraksi sedang
pembukaan belum lengkap
d. Kolpoporeksis, robekan-robekan di
antara serviks dan vagina
C. Menurut robeknya peritoneum
a. Ruptur uteri Kompleta : robekan pada
dinding uterus berikut peritoneumnya ( perimetrium ) ; dalam hal ini terjadi
hubungan langsung antara rongga perut dan rongga uterus dengan bahaya
peritonitis
b. Ruptur Uteri Inkompleta : robekan
otot rahim tanpa ikut robek peritoneumnya. Perdarahan terjadi subperitoneal dan
bisa meluas ke liga latum
Pembagian
rupture uteri menurut robeknya dibagi menjadi :
1.
Ruptur uteri kompleta
a.
Jaringan peritoneum ikut robek
b.
Janin terlempar ke ruangan abdomen
c.
Terjadi perdarahan ke dalam ruangan abdomen
d.
Mudah terjadi infeksi
2.
Ruptura uteri inkompleta
a.
Jaringan peritoneum tidak ikut robek
b.
Janin tidak terlempar ke dalam ruangan abdomen
c.
Perdarahan ke dalam ruangan abdomen tidak terjadi
d.
Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma
2.3.2 ETIOLOGI
1.
Robekan perinium
Umumnya
terjadi pada persalinan
1. Kepala
janin terlalu cepat lahir
2. Persalinan
tidak dipimpin sebagaimana mestinya
3. Jaringan
parut pada perinium
4. Distosia
bahu
2. Robekan serviks
a. Partus presipitatus
b. Trauma krn pemakaian alat-alat operasi
c. Melahirkan kepala pada letak
sungsang secara paksa, pembukaan belum lengkap
d. Partus lama
3.
Ruptur Uteri
a. riwayat pembedahan terhadap fundus atau korpus
uterus
b. induksi dengan oksitosin yang
sembarangan atau persalinan yang lama
c. presentasi abnormal ( terutama terjadi
penipisan pada segmen bawah uterus )
d. panggul sempit
e. .letak lintang
f. Hydrosephalus
g. tumor yg menghalangi jalan lahir
h. presentasi dahi atau muka
2.3.3 PATOFISIOLOGI
1.
Robekan
Perinium
Robekan perineum terjadi pada semua persalinan pertama dan
tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan
atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala
janin dengan cepat, sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan
terlampau kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan pendarahan dalam
tengkorok janin, dan melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar panggul karena
diregangkan terlalu lama.
Robekan perineum umumnya terjadi digaris tengah dan bias
menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih
kecil daripada biasa sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke belakang
daripada biasa, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang
lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito-bregmatika, atau anak
dilahirkan dengan pembedahan vaginial.
2. Robekan Serviks
Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga
serviks seorang multiparaberbeda daripada yang belum pernah melahirkan per
vaginam. Robekan serviks yang luas mengakibatkan perdarahan dan dapat menjalar
ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti meskipun
plasenta sudah lahir lengkap dan uterus berkontraksi baik, perlu dipikirkan
perlukaan jalan lahir, khususnya robekan serviks uteri.
3. Rupture Uteri
1. Ruptura uteri spontan
a. Terjadi spontan dan seagian besar
pada persalinan
b. Terjadi gangguan mekanisme
persalinan sehingga menimbulkan ketegangan segmen bawah rahim yang berlebihan
2.
Ruptur uteri trumatik
a.
Terjadi pada persalinan
b. Timbulnya ruptura uteri karena tindakan seperti ekstraksi
farsep, ekstraksi vakum, dll
3.
Rupture uteri pada bekas luka uterus
Terjadinya
spontan atau bekas seksio sesarea dan bekas operasi pada uterus.
2.3.4 Tanda dan Gejala
1.
Robekan jalan lahir
Tanda
dan Gejala yang selalu ada :
1. Pendarahan
segera
2. Darah
segar yang mengalir segera setelah bayi lahir
3. Kontraksi
uterus baik
4. Plasenta
baik
2.
Rupture Uteri
Tanda
dan gejala ruptur uteri dapat terjadi secara dramatis atau tenang.
1. Dramatis
a. Nyeri tajam, yang sangat pada
abdomen bawah saat kontraksi hebat memuncak
b. Penghentian kontraksi uterus
disertai hilangnya rasa nyeri
c. Perdarahan vagina ( dalam jumlah
sedikit atau hemoragi )
d. Terdapat tanda dan gejala syok,
denyut nadi meningkat, tekanan darah menurun dan nafas pendek ( sesak )
e. Temuan pada palpasi abdomen tidak
sama dengan temuan terdahulu
f. Bagian presentasi dapat digerakkan
diatas rongga panggul
g. Janin dapat terposisi atau
terelokasi secara dramatis dalam abdomen ibu
h. Bagian janin lebih mudah dipalpasi
i.
Gerakan
janin dapat menjadi kuat dan kemudian menurun menjadi tidak ada gerakan atau
DJJ masih didengar
j.
Lingkar
uterus dan kepadatannya ( kontraksi ) dapat dirasakan disamping janin ( janin
seperti berada diluar uterus ).
2. Tenang
a. Kemungkinan terjadi muntah
b. Nyeri tekan meningkat diseluruh
abdomen
c. Nyeri berat pada suprapubis
d. Kontraksi uterus hipotonik
e. Perkembangan persalinan menurun
f. Perasaan ingin pingsan
g. Hematuri ( kadang-kadang kencing
darah )
h. Perdarahan vagina ( kadang-kadang )
i.
Tanda-tanda
syok progresif
j.
Kontraksi
dapat berlanjut tanpa menimbulkan efek pada servik atau kontraksi mungkin tidak
dirasakan
k. DJJ mungkin akan hilang
2.3.5 Penatalaksanaan Medis
1. Penjahitan
Robekan Vagina Dan Perenium
Terdapat
empat derajat robekan yang bisa terjadi saat pelahiran, yaitu :
Tingkat
I : Robekan hanya pada selaput lender vagina dan jaringan ikat
Tingkat
II : Robekan mengenai mukosa vagina, jaringan ikat, dan otot dibawahnya tetapi
tidak menenai spingter ani
Tingkat
III : robekan mengenai trnseksi lengkap dan otot spingter ani
Tingkat
IV : robekan sampai mukosa rectum.
2. Penjahitan
Robekan Derajat I Dan II
Sebagian
besar derajat I menutup secara spontan tanpa dijahit.
a. Tinjau kembali prinsip perawatan
secara umum.
b. Berikan dukungan dan penguatan
emosional. Gunakan anastesi lokal dengan lignokain. Gunakan blok pedendal, jika
perlu.
c. Minta asisten memeriksa uterus dan
memastikan bahwa uterus berkontraksi.
d. Periksa vagina, perinium, dan
serviks secara cermat.
e. Jika robekan perinium panjang dan
dalam, inspeksi untuk memastikan bahwa tidak terdapat robekan derajat III dan
IV.
a. Masukkan jari yang memakai sarung
tangan kedalam anus
b. Angkat jari dengan hati-hati dan
identifikasi sfingter.
c. Periksa tonus otot atau kerapatan
sfingter
f. Ganti sarung tangan yang bersih,
steril atau DTT
g. Jika spingter cedera, lihat bagian
penjahitan robekan derajat III dan IV.
h. Jika spingter tidak cedera, tindak
lanjuti dengan penjahitan.
BAB III
TINJAUAN KASUS (SOAP)
Tanggal Pengkajian
: 18 – 2 – 2007
Pukul
: 17.30
Tempat
:
A. Data subyektif
Biodata
Nama
ibu :
Ny.E
Nama Suami
: Tn.T
Umur
: 20
tahun
Umur
: 23 tahun
Agama
:
Islam
Agama
: Islam
Pendidikan
:
SMP
Pendidikan
: SMA
Kebangsaan
: Indonesia/Sunda
Kebangsaan
: Indonesia/Sunda
Pekerjaan
:
IRT
Pekerjaan
: Wiraswasta
1.
Alasan masuk : 2 jam
post partum dengan atonia uteri
2.
Keluhan
:
Ibu mengatakan keluar bayak darah setelah
melahirkan,
merasa haus, meras lemas.
3.
Riwayat persalinan
Tempat
: Praktek bidan swasta Bidan Ciremai.
Ibu
Jenis persalinan
: Spontan
Masa
gestasi
: 37-38 minggu
Komlokasi Persalinan : Tidak ada
Plasenta
: Lahir Lengkap, spontan
Tali pusat
panjang : 50 cm
Kelainan
: Tida
Perdarahan
: Kala I : ± 50
ml
± 8 jam
Kala II : ± 100
ml
± 30 menit
Kala III : ± 200
ml ± 15 menit
Kala IV : ³ 500 ml
Kebutuhan peah : banyak ± 1000 ml, warna jernih
Tidakan
lain
: Terpasang infus RL
Bayi
Lahiran
: 18-2-2007, pukul : 19045 WIB
Keadaan
: Bayi lahir segera menangis
Jenis
Kelamin :
Laki-laki
Berat
Badan
: 3100 gram
Panjang
Badan : 48 Cm
Cacat
Warna
: tidak ada
1. Riwayat
kesehatan
Penyakit yang pernah diderita tidak ada
Penyakit yang diderita sekarang tidak ada
2. Eiwayat
Kesehatan Keluarga
Klien mengatakan didalam keluarga tidak ada yang menderita penyakit berat
seperti : jatung, paru-paru, Diabetes, AIDS
3. Penyulit dan
Komplikasi
Tekanan darah tinggi : Tidak ada
Kejang dan infeksi : Tidak ada
Pemeriksaan
Fisik
1) Keadaan umum :
Lemah
Keadaan emosional : Tidak setabil
Kesadaran
: Compos mentris
2) TTV :
TD : 80/60 mmHG
P : 100x/mnt
R : 28 x/mnt
S : 36.50C
3) Pemeriksaan Fisik
a.
Kepala
Kulit kepala bersih
b. Muka
Oedema tidak ada
c.
Mata
Letak simetris, konjungtiva
merah muda, tidak ada oedema, sklera putih.
d. Mulut dan gigi
Lidah bersih, gusi tidak
mengalami pendarahan.
e.
Leher
Tidak ada pembengkakan kelenjar
tiroid dan tidak ada pembesaran kelenjar Iymfe.
f.
Telinga
Bentuk simentris.
g. Dada
Jantung
:
Reguler
Paru-paru
:
Tidak ada wheezing dan ronchi
Payu darah
Bentuk
: Simentris
Benjolan :
Tidak ada
Puting susu : Menonjol
Areola mamae : Hyperpigmentasi
Colostrum : (+)
h. Punggung dan pinggang
Pinggang : Tidak
nyeri
Punggung : Tidak ada
sceolosis
i.
Abdomen
Bekas luka operasi tidak ada
Striae
: Ada
Uterus
TFU
: Tidak teraba, kontraksi uterus tidak baik.
j.
Pengeluaran darah pervaginam
Warna
: Merah Tua
Jumlah
: + 500 ml
Perineum
: Terjadi laserasi
Kandung kemih : Kosong
k. Extremitas atas dan bawah
Oedema
: - / -
Kemerahan : - / -
Kemerahan : - / -
Kekakuan sendi : - / -
4) Uji Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium : tanggal 18-2-2007 pukul WIB.
Darah : Hb : 8,0 %
Urine : tidak dilakukan.
A. Assesment
Tanggal 18-2-2007 pukul 20.00 WIB
P1Ao post partum 2 jam dengan atonia uteri
§ Masalah
: cemas, lemah
§ Dignosa potensial :
-
Potensial terjadi shock hipovolemik
-
Potensial terjadi infeksi post partum
-
Potensial terjadi anemia
B. Planning
Memasang
infus RL ditangan kiri infus RL sudah
terpasang
Memberikan
obat uteotonika 1x1 drip amp sudah
dimasukan 1x1x drip uteotonika pada infus RL dan terpasang pada tangan kiri,
20-40 tetes/menit
Memberikan
ibi intake cairan perroral ibu
diberikan the manis hangat
Mengobservasi
perdarahan kontraksi uteri
lemah
Mengobservasi
keadaan umum dan tanda-tanda
vital KU lemah TD : 80/60 mmHg,
N : 90 x/menit, R : 24 x/menit, S : 360C.
Pemberian
therapy peroral solvitro 250 mg 10 tablet
3x1 per hari dan amoxilin 500 mg 10 tablet 3x1 per hari.
Tanggal 19-2-2007, pukul 23.30 WIB
S : ibu mengatakan keadaannya sudah mulai membaik, pusing dan keringat
dingin sudah tidak ada, darah sudah tidak banyak yang keluar, perut terasa
mules.
O : - Keadaan umum : cukup
- TTV : TD : 90/70 mmHg
N : 100x/menit
R : 22x/menit
S : 36.50C
-
perdarahan :± 200 ml
-
TFU 2 jari dibawah pusat
-
Kontraksi uterus baik
-
Hb ; 8 gr %
A : P1Ao pos partum hari ke 1 dengan anemia
Masalah
: tidak ada
Diagnosa potensial : potensial terjadi anemia berat
P : - memberi tahu ibu tentang hasil pemeriksaan
ibu dan keluarga tahu dan
mengerti pemeriksaan yang dilakukan.
-
Mengobservasi TTV
-
TTV : TD : 100/80 mmHg
N : 80x/ menit
R : 20x/menit
S : 36.50C
-
Mengobservasi
perdarahan darah yang keluar ±150 ml, TFU 2 jari dibawah
pusat, kontraksi +
-
Mengganti
kain yang terpakai dengan kain yang bersih
ibu merasa nyaman
-
Memberikan
ibi sarapan ibu mau makan
-
Mengambilkan
darah untuk cek Hb ulang melakukan
pemeriksaan Hb (8,2 gr %)
-
Menganjurkan
ibu untuk tetap menyusui bayinya
bayi mau menetek
-
Menganjurkan
ibu untuk cukup istirshat ibu dapat
istirahat dengan cukup
Tanggal 20-2-2007, pukulo 11.00 WIB
S : ibu mengalami keadaannya sudah jauh lebih baik
: - Keadaan : composmentis, keadaan umum : baik
- TTV
: TD : 110/80 mmHg
N : 80x/menit
R : 20x/menit
S : 36,90C
- TFU 2 jari
dibawah pusat
- Kontraksi
uterus baik
- Perdarahan ±50 ml
- Hb :8,6 gr %
A : P1Ao post partum hari ke 2 dengan anemia
Masalah
: tidak ada
Diagnosa potensial : potensial terjadi anemia berat
P : - Mengobservasikan ibu keluarga tentang hasil pemeriksaan
yang dilakukan ibu dan keluarga tahu dan mengerti pemeriksaan yang
dilakukan.
- Mengobservasi TTV
- TTV : TD : 100/80 mmHg
N
: 80x/menit
R
: 20x/ menit
-
Mengobservasi
lochea lochea lubra (warnah
merah)
-
Mengobservasi
kontraksi uterus dan
perdarahan kontraksi
uterus baik, TFU 2 jari dibawah pusat, darah yang keluar ± 50 ml.
-
Memberikan
makan siang ibu mau makan
siang.
-
Menganjurkan
ibu untuk membersihkan putting sebelum
meneteki ibu mau
membersihkan putting susu sebelum meneteki.
-
Menganjurkan
ibu untuk menetei bayinya sesering mungkin/sekehendak bayi
bayi mau menetek.
-
Ibu meminta
pulang diperbolehkan pulang, dengan
keadaan umum baik walaupun hasil pemerikasaan Ho terakhir 8,6 gr %.
-
Memberitauh .
-
Konseling
gizi sehubungan kadar Hb yang masih dibawah
standar ibu mengerti dan paham
tentang konseling yang telah diberikan.
-
Membuat
kesepakatan dan kadar Hb yang masih dibawah
standar ibu sepakat
melakukan kunjungan ulang satu minggu yang akan datang atau apabila ada
tanda-tanda bahaya nifas.
BAB IV
PEMBAHASAN
Setelah penulis memberikan asuhan kebidanan kepada Ny. E
post partum dengan atonia uteri, ternyata penulis menemukan :
4.1
Pengkajian
Dalam pengambilan data atu
pengkajian pada Ny. E, penulis di dapatkan kesesuaian antara konsep asuhan
kebidanan dengan tinjauan kasus serta penulis tidak menemukan hambatan yang
begitu berarti, antara teori dan kenyataan tidaklah jauh berbeda, sehingga pada
pengkajian ditemukan tidak adanya kesenjangan atara teori dan praktek.
4.2
Identifiksi Diagnosa
Pembahasan untuk diagnosa didapatkan
kesesuaian antara konsep asuhan kebidanan dengan tinjauan kasus dan sesuai
dengan teori yaitu : Antonia Uteri adalah uterus gagal berkontraksi dengan baik
setelah persalinan. (prawirohardjo, 2002:242). Diagnosa yang ditegakkan penulis
pada Ny.E dalam lingkup praktek kebidanan sesuai dengan konsep teori yaitu ibu
post partum dengan antonia uteri, sehingga identifikasi diagnosa ditemukan
tidak adanya kesenjangan antara teori dan praktek.
4.3
Perencanaan
Dilam perencanaan asuhan, penulis
tidak menemukan kesenjangan antara teori dengan praktek di lapangan, di dalam
teori terdapat perencanaan KBI,dan di lahan praktek penulis tidak menemukan
perencanaan ibu post partum dengan antoni uteri yang sesuai dengan teori.
4.4
Pelaksanaan
Pada pelaksanaan perawatan Ny. E
post partum dengan antoni uteri, penatalaksanaan KBI tidak dilakukan pada
tingkat fasilitas pelayanan kesehatan dasar sesuai dengan teori yang ada.
4.5
Evaluasi
Dari hasil asuhan yang diberikan
diharapkan keadaan ibu baik dalam kasus Ny. E rencana asuhan dapat diberikan /
dilaksanakan sehingga hasil sesuai dengan yang diharapkan.
BAB
IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Atonia
uteria (relaksasi otot uterus) adalah Uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik
setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir). (JNPKR, Asuhan
Persalinan Normal, Depkes Jakarta ; 2002) . Adapun
etimologinya yaitu : overdistention uterus
seperti: gemeli, makrosomia, polihidramnion, atau paritas tinggi, umur yang
terlalu muda atau terlalu tua, multipara dengan jarak keahiran pendek, partus lama / partus terlantar, malnutrisi, dapat juga karena salah penanganan
dalam usaha melahirkan plasenta, sedangkan sebenarnya belum terlepas dari
uterus.
Keadaan dimana plasenta belum lahir selama 1 jam setelah
bayi lahir. Epidemiologi 16-17 %
dari kasus perdarahan postpartum. Penyebab plasenta belum terlepas dari dinding
rahim karena melekat dan tumbuh lebih dalam. Bila plasenta belum lepas sama
sekali tidak akan terjadi perdarahan tetapi bila sebagian plasenta sudah lepas
maka akan terjadi perdarahan. Ini merupakan indikasi untuk segera
mengeluarkannya. Plasenta mungkin pula tidak keluar karena kandung kemih atau
rektum penuh. Oleh karena itu keduanya harus dikosongkan. Penanganan retensio plasenta berupa
pengeluaran plasenta dilakukan apabila plasenta belum lahir dalam 1/2-1 jam
setelah bayi lahir terlebih lagi apabila disertai perdarahan.
Perdarahan dalam keadaan dimana plasenta telah lahir lengkap
dan kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal
dari perlukaan jalan lahir.
3.2 Saran
Untuk memberikan asuhan yang menguntungkan terhadap ibu, bayi dan
keluarganya, seorang bidan atau perawat harus memahami dan memiliki pengetahuan tentang kebutuhan-kebutan persalinan pada kala II dengan baik.
Dan semoga makalah ini dapat
digunakan sebaik-baiknya agar makalah ini selalu dapat digunakan. Bagi
mahasiswa dapat membaca makalah ini sebagai referensi dalam proses kegiatan
belajar mengajar.
DAFTAR PUSTAKA
Manuaba, Ida Bagus. 1998. Ilmu
Kebidanan Penyakit Kandungan Dan Keluarga Berencana. EGC : Jakarta.
Mochtar, rustam. 1998. Sinopsis
Obstetri jilid 1. EGC : Jakarta.
Rohani, dkk. 2011. Asuhan Kebidanan
pada Masa Persalinan. Jakarta : Salemba Medika.
Varney, Helen. 2006. Buku Ajar Asuhan
Kebidanan Ed 4, Vol 1. EGC : Jakarta.
http://www.artikelkebidanan.com/artikel/contoh-askeb-soap-persalinan-dengan-letak-sungsang.html
http://stirmawati.blogspot.com/p/letak-sungsang.html